I/ Beri aku peluk, yang begitu mengikat, kekasih. Biar jarak membenci kita Biar dekat yang mendekap adalah yang paling pantas Aku ingin pulang kepadamu, menjadi diriku yang utuh Aku tidak bisa mengandalkan apa-apa Untuk berharap kita selama-lamanya, Meskipun begitu Kulempar segala doa baik Semoga langit-langit memayunginya Semoga Tuhan mendengar dan menerima Rapal namaku dengan sapaanmu yang paling mesra Biar semua dengar Sebab kita adalah yang paling puisi, bukan? II/ Malam selalu mengantri untuk menyapa Karena hendak mencapaimu Sore menjadi cemburu Barangkali, ia muak, tidak ada pertemuan, tidak ada percakapan indah juga, padahal Sore mengaku, ia ikhlas menjadi segala sesuatu yang ternyaman di bumi ini Tetap tidak peduli, kamu tetap memilihku, bukan? Aku tidak bisa berbuat apa-apa Atas maksud mereka, aku juga tidak mengerti Sebab aku dan kamu saja juga bergejolak Untukmu bisa mencapai aku dan Untukku bisa mencapaimu Jalan saja juga terlihat tidak begitu jelas Apa mungkin disebabka
Jujur sekali, ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu, namun aku keluh dan aku malah menulis puisi-puisi seperti ini. Aku ingin menelfonmu, sesekali, meskipun tidak setiap hari. Mengatakan tentang bagaimana aku merindukanmu dan menunjukkan betapa aku cinta. Namun, sayangnya aku benar-benar belum bisa, mulutku tiba-tiba kaku dan tanganku tidak cukup kuat untuk mencari namamu di telphone genggamku. Betapa menyakitkan, perasaan yang takut untuk perpulang seperti ini. Tapi ya mau bagaimana lagi, aku begini. Aku meraut pensil yang sudah tak terhitung, hanya untuk menunjukkan puisiku. Ya, aku harus bekerja lebih keras lagi, supaya kamu terketuk. Cukup membaca satu atau dua saja. Tidak masalah, asal kamu tahu, semua puisi bernyawa kamu. Kudengar cinta seperti bohlam di ruang yang gelap, benar-benar menenangkan saat ketakutan datang. Ya, aku ingin jadi bohlam. Tapi ada lagi, aku percaya, sebenar-benarnya cinta seperti pelukan ibu. Aku ingin merasakan itu setiap hari. Membahagiakan, murni